Kamis, 31 Mei 2012

Albertus Soegijapranata

Nama kecilnya adalah Soegija. Soegija lahir di sebuah keluarga Kejawen yang merupakan abdi dalem keraton Kasunanan Surakarta.
Belajar di Kolese Xaverius yang didirikan oleh Pastor Franciscus Georgius Josephus van Lith, SJ. Sekolah ini pindahan dari sekolah dari Lampersari dari Semarang. Ketika bersekolah, Soegijapranata dibaptis di Muntilan oleh Pastor Meltens, SJ dengan mengambil nama permandian Albertus Magnus. Dari didikan yang didapat di sinilah kemudian ia berhasrat untuk menjadi imam, kemudian ia dikirim ke Belanda belajar di Gymnasium, yang diasuh oleh Ordo Salib Suci/ Ordo Sanctae Crucis (OSC) di Uden, propinsi Noord-Brabant (Brabant Utara), di sana ia belajar bahasa Latin dan Yunani. Rute perjalanan ke Belanda mulai dari Tanjung Priok - Muntok - Belawan - Sabang - Singapore - Colombo - Terusan Suez dan terus ke Amsterdam.
Kemudian masuk Novisiat SJ di Mariendaal, Grave. Di sini ia bertemu dengan Pastor Willekens, SJ, yang kelak menjadi Vikaris Apostolik Batavia. Pada 22 September 1922 Soegija mengucapkan kaul prasetia yang pertama. 1923-1926 Belajar Filsafat di Kolese Berchman, Oudenbosch. 1926-1928 Kembali ke Muntilan mengajar di Kolese Xaverius Muntilan. Pada Agustus 1928 Soegija kembali ke Belanda belajar Teologi di Maastricht.
Pada tanggal 15 Agustus 1931 menerima Sakramen Imamat, ditahbiskan oleh Mgr. Schrijnen, Uskup Roermond di kota Maastricht. Namanya ditambah Pranata sehingga menjadi Soegijapranata. Tahun 1933 Soegijapranata kembali ke Indonesia dan mulai bekerja di Paroki Kidulloji, Yogyakarta, selama satu tahun sebagai pastor pembantu. Tahun 1934 ia dipindahkan ke Paroki Bintaran sampai tahun 1940.
Pada 1 Agustus 1940, Mgr. Willekens, SJ, Vikaris Apostolik Batavia, menerima telegram dari Roma yang berbunyi: "from propaganda fide Semarang erected Vicaris stop, Albert Soegijapranata, SJ appointed Vicar Apostolic titular Bishop danaba stop you may concecrete without bulls" dan ditanda tangani oleh Mgr. Montini, yang kelak menjadi Paus Paulus VI. Setelah menerima penyampaian telegram dari Roma melalui Mgr. Willekens, SJ, Vikaris Apostolik Batavia, lalu Soegijapranata pun menjawab: "Thanks to his holiness begs benediction".
Pada 6 November 1940 ia ditahbiskan sebagai Uskup pribumi Indonesia pertama untuk Vikaris Apostolik Semarang oleh Mgr. Willekens, SJ (Vikaris Apostolik Batavia), Mgr. AJE Albers, O.Carm (Vikaris Apostolik Malang) dan Mgr. HM Mekkelholt, SCJ (Vikaris Apostolik Palembang).
Pada tahun 1943, bersama Mgr. Willekens, SJ menghadapi penguasa pendudukan pemerintah Jepang dan berhasil mengusahakan agar Rumah Sakit St. Carolus dapat berjalan terus.

Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Albertus_Soegijapranata

KOMENTAR PARA TOKOH dan RESENSI FILM

Sumber : http://www.soegijathemovie.com/index.html


Olga Lidya - Pemain film

Mudah-mudahan Soegija dengan misinya bisa menjangkau lebih banyak orang. Yang paling penting bagaimana menyebarkan virus pemikiran kepemimpinan ini, pemikiran-pemikiran tokoh-tokoh bangsa seluas-luasnya. Kalau bisa box office yah syukurlah. Ini adalah film yang dibuat dengan sangat serius, walaupun yang nonton santai. Yang bikin yang serius. Ada banyak yang bisa didiskusikan di sini. Pemimpin yang seperti ini bikin kita damai. Pemimpin ini punya visi yang kuat, mempunyai visi jauh ke depan, apa yang disampaikan melebihi dari yang terlihat oleh mata.

Romo Mudji Sutrisno SJ - Budayawan

Kalau anda mengalami kebingungan itu yang harus dipakai adalah libertas, artinya kebebasan untuk menafsirkan film ini. Maka anda boleh menafsirkan film ini dengan bebas.Tetapi kalau anda dalam situasi pecah atau tidak ada pemimpin dan segala macam, untuk segala-galanya, prinsip yang harus dipakai adalah taritas, taritas itulah yang dimunculkan dalam film ini yang diramukan dimunculkan dalam kemanusiaan.

RESENSI FILM

Soegija, Berperang dalam Diam

Soegija terkenal dengan silent diplomacy-nya.

Sumber : http://showbiz.vivanews.com/news/read/319145-soegija--berperang-dalam-diam

VIVAlife - Kemanusiaan itu satu. Kendati berbeda bangsa, asal usul dan ragamnya, berlainan bahasa dan adat istiadatnya, kemajuan dan cara hidupnya, semua merupakan satu keluarga besar.
Film ini dimulai dengan goresan pena seorang Romo (Nirwan Dewanto) di atas kertas, yang sekaligus menjadi curahan hatinya. Ia sedang di tengah perang kala itu, ketika para penduduk pribumi harus berlutut dan menunduk di bawah makian serta todongan senjata Belanda.

Di masa serba tertekan itu, sang Romo mendapat kehormatan menjadi pribumi pertama yang dilantik sebagai Uskup Danaba. Ia pun lebih dikenal dengan sebutan Mgr. Alb. Soegijapranata SJ, dan hijrah dari gerejanya di Yogyakarta ke Semarang.
Dengan ‘jabatan’ itu, Romo lebih dihormati. Yang datang ke gereja mendengarkan ceramahnya bukan hanya penduduk lokal, tetapi juga orang-orang Belanda. Meski begitu, kesehariannya yang bersahaja dan merakyat, tak berubah.

Tahun demi tahun berganti, penjajah datang dan pergi. Jepang masuk Indonesia tahun 1942, Belanda takluk dan harus rela dilucuti senjatanya. Mereka ingin menduduki gereja sebagai markas, namun dengan tegas Soegija menolak.
“Penggal dulu kepala saya,” ujarnya singkat.
Ia memang tidak terjun langsung untuk berperang, namun di setiap masa andilnya selalu tampak. Saat penduduk butuh tempat bernaung karena kondisi jalanan chaos, Soegija membuka lebar-lebar pintu gereja untuk menampung mereka. Ia memerintahkan penyaluran makanan lebih dulu untuk rakyat yang kelaparan, baru untuk para imam.
Saat Hiroshima – Nagasaki di-bom dan masyarakat menuntut kemerdekaan yang belum juga diakui oleh sekutu yang kembali datang ke Indonesia, Soegija berdiplomasi dengan Vatikan sehingga negara itu menjadi negara Barat pertama yang mengakui kedaulatan Indonesia.

Soegija memang terkenal dengan silent diplomacy-nya. Tanpa harus menggunakan kekerasan dan senjata, iman dan semangat kemanusiaannya dapat menjadi panutan yang tak lekang waktu. Menurutnya, menggalang cinta kasih dan keadilan belum cukup, juga perlu bertempur dengan lembut untuk kemerdekaan. Berkat kegigihannya itu, Seogija menjadi uskup pribumi pertama yang mendapat gelar pahlawan nasional dari Soekarno.

Film garapan sutradara Garin Nugroho yang dibuat melalui riset panjang ini bukan film misionaris agama Katolik seperti yang banyak diperdebatkan. Tokohnya juga tidak melulu Soegija. Film ini menampilkan sisi humanis yang masih ada dalam sebuah perang.
Mariyem (Annisa Hertami) yang terpisah dari kakaknya Maryono (Abe) akibat perang, kembali dipertemukan dalam kondisi berbeda. Ling Ling (Andrea Reva) seorang bocah Tionghoa juga terpisah dari mamanya (Olga Lydia), kembali bertemu dalam sebuah momen di gereja. Tokoh menggelitik pun ditampilkan, seorang bocah yang hanya bisa mengeja kata ‘merdeka’ tapi punya semangat juang dan selalu menjadi garda terdepan pasukan pemuda.

Rasa kemanusiaan juga dimiliki para penjajah. Nobuzuki (Suzuki), pemimpin tentara Jepang, tak pernah tega pada anak-anak karena ingat anaknya di rumah. Robert (Wouter Zweers), tentara Belanda yang sangat bernafsu menjadi mesin perang paling hebat, perasaannya luluh saat menemukan bayi di medan perang. Hendrick (Wouter Braaf), jurnalis asal Belanda, pun selalu memotret ekspresi-ekspresi manusiawi dan nasionalisme Indonesia. Ia menemukan cintanya, namun tak mampu bersatu karena perang.

Selain menampilkan kemanusiaan yang beragam, film ini juga banyak menampilkan otokritik untuk bangsa. Baik berupa visual, maupun kata-kata satir dari goresan pena dan ucapan Soegija sendiri. Kata-kata seperti “Apakah yang harus dilakukan seorang pemimpin di tengah krisis dan perubahan zaman?” serta “Apa artinya terlahir sebagai bangsa yang merdeka, jika gagal untuk mendidik diri sendiri,” patut dicermati lebih dalam makna di baliknya.

“Perjuangan sudah selesai, sekarang tinggal bagaimana menata negara dan melayani masyarakat. Kalau mau jadi politikus, harus punya mental politik. Kalau tidak, yang ada dalam pikirannya hanya kekuasaan dan akan menjadi benalu negara,” pesan Soegija di akhir film itu, seakan menjadi perenungan bagi para pemimpin sekaligus rakyat Indonesia di masa sekarang. (eh)

Sabtu, 12 Mei 2012

Profile Ketua Umum Bunda Kudus


Hangat, ramah, murah senyum! Kesan ini selalu muncul manakala kita bertemu dengan Theodora Monica Ervin yang lebih dikenal sebagai Ervinna. Siapa pun tahu bahwa Ervinna adalah sosok penyanyi legendaris yang pernah berjaya di belantika musik Indonesia, bahkan luar negeri. 

Juru Tulis: Lambertus L. Hurek, Link:  http://hurek.blogspot.com/2006/04/ervinna-penyanyi-legendaris.html 

Catatan prestasinya segudang. Jumlah rekaman albumnya, kalau dihitung sejak ia menitipi karier pada awal 1970-an, rasanya sulit ditandingi penyanyi atau band zaman sekarang. 

“Kalau album pop, sudah 200 lebih,” ujar Ervinna yang saya temui di rumahnya, Jalan Kertajaya Indah Surabaya, Senin (27/03/2006). Ini belum termasuk album rohani yang dirilis dalam beberapa tahun terakhir. 

“Sekarang ini saya sedang mempersiapkan album rohani dalam bahasa Mandarin. Prosesnya hampir selesai,” ujar Ervinna seraya tersenyum manis. 

Dibantu Romo Yandi Boentoro CD, pastor yang fasih berbahasa Mandarin karena pernah bertugas lama di Taiwan, album anyar ini menampilkan kombinasi lagu-lagu rohani Indonesia, yang di-Mandarin-kan, serta lagu-lagu rohani ‘asli’ dari bumi Tiongkok sana. 

Begitulah. Ervinna tetap saja sibuk kendati tidak lagi seekstrem ketika ia masih remaja pada 1970-an hingga 1980-an. Dulu, istri Robert Soesanto ini bisa mendekam tiap hari di studio untuk membuat rekaman lagu di piringan hitam atau kaset, belum lagi jadwal show yang sangat padat di dalam dan luar negeri. 

“Saya dulu sering mengeluarkan dua atau tiga album dalam satu bulan,” cerita Ervinna. 

Sebagai perbandingan, artis/band paling produktif masa kini seperti Slank atau Dewa belum tentu bisa merilis album setahun sekali.

Popularitas, nama besar, segudang prestasi, bagi Ervinna, merupakan berkat Tuhan yang luar biasa baginya. Dan, itu membuat Ervinna tak henti-hentinya mengucap syukur di usia matangnya sekarang. Salah satu wujud ucapakan syukur itu adalah dengan aktif di kegiatan rohani, mengisi acara pujian rohani, penggalangan dana (fund rising) untuk gereja, hingga bakti sosial. 

Aktivitasnya di bidang rohani semakin teratur sejak ia bergabung dalam Komunitas Pertumbuhan Iman Wanita BUNDA KUDUS, Surabaya, sejak 1994 lalu. Ervinna bahkan sekadar aktif, tapi juga salah satu motor Bunda Kudus sampai sekarang. Kini, Mbak Ervin, sapaan akrabnya, malah dipercaya sebagai ketua Bunda Kudus. 

“Mungkin kami baru dikukuhkan bulan Mei yang akan datang,” ujar Ervinna. Tapi, ia buru-buru menambahkan bahwa di Bunda Kudus berlaku kepemimpinan kolektif, sehingga posisi ketua sama sekali bukan penentu semua kebijakan. Semua keputusan dibuat bersama-sama secara kekeluargaan dan, tentu saja, selalu dibawa dalam doa bersama. 

“Selain saya, ada Ibu Sonny Vincent dan Ibu Gin,” jelas Ervinna yang melihat posisi di Bunda Kudus lebih sebagai ajang pelayanan kepada Tuhan dan Gereja.



Pertumbuhan iman dalam diri Ervinna hingga mencapai kematangan sebetulnya melalui proses panjang. Proses itu tak akan pernah berhenti selama kita masih hidup di dunia. Dan, sebagai anak Tuhan, kita akan selalu dibentuk menjadi ‘manusia baru’ dari hari ke hari. 

Tak banyak yang tahu kalau Ervinna ini tidak lahir dari sebuah keluarga Katolik. Di masa kecilnya, kekatolikan atau kristianitas masih menjadi barang asing di keluarganya. Namun, Ervin kecil punya kebiasaan mengoleksi boneka atau patung mainan sebagai sarana bermain-main di rumahnya, waktu itu di Jalan Basuki Rachmat Surabaya. 

Secara kebetulan, salah satu patung mainan koleksi si kecil Ervinna adalah patung Yesus. “Saya waktu kecil tidak tahu itu patung siapa. Yang jelas, saya suka,” tutur Ervinna seraya tersenyum.

Saking asyiknya bermain-main dengan patung koleksinya, pada suatu hari, patung Yesus ini jatuh dan pecah berkeping-keping. Ervin kecil sangat sedih, kehilangan, meskipun orang tuanya--yang bukan Kristiani--bisa saja membeli yang baru di toko-toko. 

Malamnya, Ervinna bermimpi melihat sosok di patung itu, yang belakangan diketahui sebagai Yesus Kristus. Ervin kecil kemudian dengan polos menceritakan pengalaman mimpinya yang ‘aneh’ itu. Orang tuanya, meski bukan Katolik, bukan Protestan, tidak pernah memaksakan doktrin agama tertentu kepada anak-anaknya. Nah, kebetulan ada kerabat orang tuanya ikut mendengarkan cerita mimpi si Ervin. 

“Bagaimana kalau kamu ikut Sekolah Minggu,” ajak tamu tadi. Orang tuanya tidak keberatan, dan Ervin mulai ikut Sekolah Minggu di Paroki Kristus Raja Surabaya. 

“Saya ikut Sekolah Minggu diantar sama pembantu,” kenangnya. Ervin akhirnya menerima Sakramen Pembaptisan di Gereja Kristus Raja pada 1968.

Karena sekolah di Santa Agnes, Surabaya, suasana Katolik praktis selalu ia temukan di lingkungan pendidikan serta teman-temannya. Ikut misa, berdoa... layaknya orang Katolik umumnya. Tapi, di sisi lain, kariernya di dunia hiburan (entertainment) sedang berkembang. 

Show di mana-mana, rekaman, tur ke luar negeri... praktis membuat Ervinna (ini nama panggung) mengaku sering absen ke gereja pada hari Minggu karena tidak sempat. 

Kita tahu, acara-acara show atau hiburan selalu diadakan pada hari Sabtu dan Minggu, sehingga ‘wajar’ saja kalau Ervinna yang tengah naik daun sulit membagi waktu untuk ke misa mingguan di gereja. “Ke gereja hanya saat Natal dan Paskah. Tapi, ya, saya tetap Katolik,” kata Ervinna.

Tahun berganti tahun... akhirnya terjadi perubahan besar dalam diri Ervinna pada 1994. Waktu itu ada kenalannya yang mengajak ikut retret di Pertapaan Ngadireso, Tumpang, Kabupaten Malang, yang dibina oleh Romo Yohanes Indrakusuma OCarm. 

“Saya ikut karena iseng-iseng saja. Ingin tahu retret itu kayak apa,” tuturnya.

Tak dinyana, di Tumpang itulah Ervinna merasakan jamahan Tuhan. Saat didoakan oleh para pembimbing, ia merasakan jamahan Tuhan yang luar biasa. Ervinna disadarkan bahwa selama bertahun-tahun ia menerima berkat Tuhan melalui karier yang cemerlang, perilaku yang jauh dari narkoba, tidak merokok, tidak mengonsumsi minuman keras, dan seterusnya. Untuk seorang entertainer sekelas Ervinna, perilaku hidup sehat dan bersih ini jelas merupakan anugerah yang harus disyukuri. 

Malam hari, masih di Tumpang, dibantu cahaya lampu yang temaran Ervinna membaca kitab suci (Alkitab), kebiasaan yang jarang dilakukan Ervinna sebelumnya. “Saya menemukan Mazmur 40,” kenang Ervinna. 

Di ayat 4 Mazmur itu disebutkan, Tuhan mengajarkan aku menyanyikan nyanyian baru, lagu pujian untuk Allah kita.

Pengalaman di Tumpang ini, dengan Mazmur 40, sungguh dahsyat. Ervinna yang tadinya hanya iseng-iseng belaka, kini dengan sepenuh hati bergiat di Bunda Kudus. Pada 1994 itu kegiatan Bunda Kudus masih sepi, paling hanya diikuti 20-30 orang.

“Nggak apa-apa. Yang penting jalan terus,” ujar Ervinna seraya menyebut nama Ibu Henny Kuncoro (alm) dan Ibu Magda Nangoy, dua tokoh Bunda Kudus yang berjasa menarik dirinya ke komunitas pertumbuhan iman, Bunda Kudus. 

Mulailah Ervinna mengikuti pendalaman Alkitab selama 16 pekan. Makin lama makin kecantol di Bunda Kudus, sehingga Ervinna kemudian memperdalam wawasan rohani dengan ikut Sekolah Evangelisasi Pribadi (SEP) Angkatan XIII. Aktif di acara-acara ini membuat Ervinna bukan saja rajin baca Alkitab, tapi menjadikan Alkitab sebagai panduan hidupnya sehari-hari.

“Kalau kita rutin baca Alkitab, maka misa di gereja itu tidak sekadar rutinitas. Kita bisa lebih meresap,” kata pemilik hits ‘Lari Pagi’ ini.

Pengalaman panjang di dunia entertainment, kemudian aktif di Bunda Kudus, bertemu kekasih lama, Robert Soesanto, menikah, dapat ‘bonus’ dua anak, semakin menyadarkan Ervinna bahwa rencana Tuhan itu selalu indah pada waktunya. Kalaupun kita sudah berdoa terus-menerus, tapi belum dijawab, itu hanya soal waktu saja. 

Menurut Ervinna, Tuhan hendak mendidik kita, anak-anak-Nya, untuk lebih sabar dan sabar. Jangan sampai kita berhenti berdoa hanya karena (merasa) doa-doa kita belum dikabulkan. “Kita wajib lapor kepada Tuhan,” kata Ervinna. 


MENIKAH DENGAN FIRST LOVE

Segala sesuatu ada waktunya. Tuhan selalu punya rencana terbaik untuk kita, umat-Nya. Ungkapan Alkitabiah ini sangat dipercaya Ervinna, bahkan ia membuktikan sendiri dalam hidupnya. Contoh paling konkret, pernikahannya dengan Vincent de Paul Robert Soesanto pada 8 September 2003 silam. 


Robert Soesanto, yang kini jadi suaminya, sebetulnya sahabat lama Ervinna. Sebagai remaja, mereka sempat pacaran pada 1980-an, tapi kemudian putus. Ervinna lantas berangkat ke Amerika Serikat untuk belajar stage acting, vocal, dan seni pertunjukan. “Saya ke AS tanggal 6 Januari 1984. Dan dia itu memang cinta pertama saya,” cerita Ervinna seraya tersenyum manis. 

Lima belas tahun kemudian, tepatnya 6 Januari 1999, Ervinna bertemu lagi dengan Robert di Singapura. Perhatikan tanggal dan bulannya.... Persis 15 tahun berselang. “Semua ini karena kuasa dan rencana Tuhan. Sangat ajaib,” ujar Ervinna. 

Singkat cerita, kedua sahabat lama itu menjalin hubungan secara serius selama lima tahun.

Pada 8 September 2003, Ervinna dan Robert Soesanto menerima Sakramen Pernikahan di Gereja Hati Kudus Yesus (Katedral) Surabaya, dipimpin langsung Uskup Surabaya Monsinyur Johanes Hadiwikarta (kini almarhum). “Tanggal pemberkatan kami tak akan saya lupakan. Ceritanya panjang, berliku-liku,” kata Ervinna lalu tertawa kecil.

Seharusnya, tutur penyanyi serba bisa ini, pemberkatan pernikahan dilakukan pada 6 September 2003 oleh Mgr Hadiwikarta. Tapi, tiba-tiba Mgr Hadiwikarta harus berangkat ke Papua untuk menghadiri tahbisan uskup di sana. Kalang-kabutlah Ervinna, karena dia tak pernah mengantisipasi sebelumnya. 

Pastor ‘cadangan’ untuk pemberkatan tak pernah ia siapkan. Syukurlah, Ervinna tidak kalut, apalagi putus asa. “Saya langsung berdoa rosario,” ujar wanita kelahiran Surabaya pada 4 Mei (tahun...) ini. 

Sebagai orang beriman, Ervinna percaya bahwa Tuhan pasti buka jalan--meminjam syair lagu yang dibawakan Ervinna di salah satu albumnya.

Benar saja. Beberapa saat kemudian Mgr Hadiwikarta menelepon Ervinna. Intinya, Uskup Surabaya itu bersedia memberikan Sakramen Pernikahan di Gereja HKY Surabaya pada 8 September 2003. Upacara berlangsung syahdu, megah, dan dihadiri 800 lebih jemaat. 

Padahal, Ervinna dan Robert sejak awal menginginkan agar upacara suci ini cukup dihadiri kerabat dekat... sekitar 200 orang. Snack yang disiapkan panitia pun terbatas. “Wah, saya kaget sekali karena yang datang begitu banyak,” cerita Ervinna lalu tertawa.

Yang jelas, setelah menikah dengan Robert Soesanto, Ervinna mengaku kehidupannya berubah sama sekali. Kalau biasanya dia melakukan sesuatu atas keputusan sendiri, single fighter, sekarang ia harus selalu membicarakannya bersama suami tercinta. Kalau show di luar kota, Ervinna selalu berusaha cepat-cepat balik ke Surabaya.

“Tapi dua anak itu sungguh menjadi berkat bagi saya,” tegas Ervinna.